just like what I felt inside.. source: favim.com
Ini dimulai dari sebuah mimpi. Oke ini bukan mimpi yang artinya cita-cita tapi mimpi si bunga tidur. Semalam saya bermimpi, mungkin karena terlalu awal tertidur, saya jadi bermimpi. I went for a reunion, meeting old friends from high school. Keh… orang-orang terdekat pasti sudah bisa menebak arah ceritanya ini kemana. Dan saya bertemu seorang sahabat yang sebenarnya tidak ingin saya temui. You guess what, kami malah banyak bercerita, saya katakan padanya betapa saya bahagia bisa bertemu dengan mereka lagi setelah sekian lama—cukup lama, sekitar dua tahun lebih saya tidak bertemu dengannya—tanpa sekalipun terbersit alasan mengapa saya menghindarinya. Tetapi beberapa saat kemudian setelah rangkaian perbincangan mengalir, seperti hantaman gada saya mengingat alasan tersebut. Adrenalin mengucur dan saya malah ingin mengkonfrontasi. Padahal saya adalah tipe yang menghindari konfrontasi kalau memungkinkan. Hanya saja mimpi itu berhenti disana sebelum saya memulai sesuatu yang lain.
Beberapa jam setelah mimpi itu lewat, tepatnya pagi ini ketika memulai hari di kantor, saya mulai menyadari sesuatu, bahwa sebenarnya saya tidak ingin membenci, karena ia sahabat saya terlepas dari apapun yang pernah ia lakukan. Namun terkadang luka itu terlalu nyata sehingga di bawah sadarpun kau akan tetap merasakan sakitnya. You keep your best too deep inside your heart. So it would be very hard to take them out. Itu yang saya sadari.
***
Dan jika sekarang kau tanyakan lagi apakah aku ingin bertemu denganmu? Apa yang ingin kulakukan? Masih tipikal, aku hanya ingin menghindarimu. Menghindar untuk terlibat konfrontasi dalam bentuk apapun, atau untuk menunjukkan pada dunia (terlebih padamu) bahwa aku terluka. Tidak, itu bukan aku. Dan sebagai balasannya, selama itu kau mungkin tidak lagi menganggapku seperti sebelumnya: sahabat.
You just can’t see me that wounded. I have that pride. I won’t apologize for that.
love
atviana