Assalamu alaikum…
Malam ini saya ingin sharing sesuatu yang rada berat. Sebenarnya sudah beberapa lama ingin menulis tentang tema ini, tetapi trigger terbesarnya adalah karena weekend lalu saya baru nonton film Korea yang sangat bagus sekali Kim Ji-Young born 1982: mengenai stigma negatif dan ketidak-adilan yang ditimpakan kepada perempuan oleh masyarakat kita pada umumnya.
Mungkin saya perlu mengakui bahwa sebelum realita menampar saya, saya juga sedikit banyak dahulu mengamini pemahaman yang salah dan berat sebelah ini. Saya juga adalah bagian dari orang-orang yang judgmental, yang selalu memasang label dan stigma negatif kepada perempuan—yang akan saya jelaskan lebih lanjut di bawah—meskipun saya sendiri adalah seorang perempuan.
Contoh kecil aja deh, dulu sebelum memiliki anak jika bertemu dengan anak yang cukup hiperaktif judgment pertama yang ada di kepala saya adalah, “gimanasih ibunya” atau ketika bertemu ayah yang sedang momong anak langsung berpikir “wow super cool dad”, padahal pemikiran-pemikiran yang seperti ini adalah contoh pemikiran yang berat sebelah, karena tugas pengasuhan, proporsi fungsional dalam rumah tangga, maupun sosial kemasyarakatan adalah saling melengkapi antara perempuan dan laki-laki.
Meski perempuan dianugerahi beragam kelebihan empati yang membuatnya terdepan dalam pengasuhan anak tidak berarti lelaki menjadi bebas tugas dalam hal ini. Harus ada proporsi yang seimbang dalam pembagian peran.
Contoh lain adalah ketika di zaman ini perempuan dan laki-laki mendapat kesempatan yang sama untuk menuntut ilmu dan meniti karir, tetapi akan menjadi berbeda ketika mereka masuk dalam jenjang pernikahan dan memiliki anak. Perempuan pada umumnya dituntut oleh lingkungan di sekitarnya untuk lebih banyak mengalah dan berkompromi yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja.
Saya tidak ingin menafikkan fakta bahwa banyak juga perempuan memilih untuk mundur dari dunia kerja untuk fokus pada perannya sebagai Ibu. Mereka dengan ikhlas dan senang hati melakukan ini—seperti yang pernah saya coba lakukan juga, dahulu!
Tidak ada aturan baku, benar salah dalam kedua pilihan ini, tetapi yang harus diperhatikan adalah apapun pilihannya, banyak kompromi yang dilakukan oleh perempuan sehingga sampai pada titik tersebut. Meskipun demikian tanggung jawab atas urusan domestik dan kesejahteraan anak (fisik dan mental) dipandang oleh society masih satu-satunya tanggung jawab perempuan.
Bukankah ini tidak adil?
Dan ketika ada hal-hal yang terjadi dalam rumah tangga tidak sesuai dengan rencana atau norma masyarakat secara umum, lagi-lagi yang dianggap bersalah adalah kaum perempuan.
Ada suami selingkuh: istrinya sih begini begitu,
Ada anak yang lagi aktif-aktifnya, lari-lari kesana kemari: ibunya sih begini begitu,
Lahiran secara sesarian: dia sih kurang begini, kurang begitu…
Dan seringnya pendapat-pendapat seperti ini malah keluar dari mulut sesama perempuan, entah Ibunya, Ibu Mertuanya, Bibinya, Saudaranya, Saudara Iparnya atau bahkan teman-temannya sendiri.
Dan ketika seorang perempuan Qadarullah menjadi janda, stigma paling negatif lah yang mereka hadapi sehari-hari. Menerima pandangan, pemikiran, dan sangkaan buruk dari segala arah.
Stigma negatif ini yang kalau boleh dibilang sering menjadi pemicu seorang perempuan ingin sesegera mungkin menyudahi status memalukan tersebut dengan cara apapun, meski dengan menghancurkan masa depan dan kebahagiaan perempuan lainnya.
Bukankah ini hanya akan menjadi lingkaran setan yang tidak berkesudahan?
Berbaiksangkalah kepada sesama perempuan, berempati dan mengapresiasi adalah cara kita merubah pola pikir ini sedikit demi sedikit.
Kita tidak bisa semerta-merta mengganti persepsi masyarakat yang telah berakar lama. Tetapi setidaknya kita bisa menjadi lebih ramah pada sesama.
Besarkan anak lelaki kita untuk mandiri, ajari untuk memuliakan perempuan, berbelas kasih dengan sesama. Besarkan anak perempuan kita juga untuk mandiri yang memahami peran dan kodratnya sebagai ibu dan istri, asah empatinya, namun jangan kekang mimpi-mimpinya untuk menggapai langit.
Dan doa kami semoga Alloh melindungi dan menyelamatkan kami dari segala keburukan dan kemungkaran.
Mari belajar memandang perempuan dengan lebih adil. #selfnote
Wassalam.
xoxoxo
atviana
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya, dan aku adalah orang yang paling baik terhadap istri.” Dawuh kanjeng nabi yang sering kali orang lupa, atau pura-pura lupa.
Bukan hanya soal suami – istri sih, tapi harus disadari perpektif masyarakat kita juga berat sebelah dalam menyikapi kesetaraan gender.
Iya betul. Meski saya agak kurang begitu sreg dengan term ‘kesetaraan gender’ sejujurnya 😅
Tapi spirit dan substansinya bisa saya tangkap, dan saya sepakat.
Haha iya, i use that term karena itulah yang saya pakai sehari-hari..
Setara tidak berarti harus sama lo…
Yess, i see. Salam kenal kak atviana 🙏🏻
true, and sad.
perempuan sejungkirbalik apapun tetap ada yang memandang sebelah mata.
i think, jika ingin merubah paradigma society diperlukan satu generasi penuh, itupun diperlukan tindakan yang sangat massive semacam cuci otak massal.hiyahahaa
meanwhile, what can we do is to put our mental health as priority, we are worthy😘
Hugs mba citraa…
So very true. Komentar yg paling jahat ke perempuan itu ya, dari sesama perempuan sendiri. Heran.
Musti sering-sering berkaca: apakah gw udah ramah ke sesama perempuan?
❤
Yepppp. Bener. Sblm berkomentar, dipikir 2x dulu. Aku sering nih begini (mikir 2x) & endingnya nggak jadi komentar (atau posting sesuatu di sosmed) krn kok terrrrnyata kontennya tydac penting, tydac lucu & berpotensi konflik, hehehe.
kalau aku situasi begini kalau melihat misalnya orang lain tidak sepaham, metodenya tidak sama, dan tidak-tidak lainnya, bener-bener menahan diri untuk tidak ngomong apapun, tidak berkomentar apapun.
soalnya kadang-kadang kitapun suka silap kan yaa…